SIMPATI KEPADA ORANG LAIN
___
"Wahai Jabir, kenapa aku melihatmu bersedih?" Tanya Rasulullah Saw kepada sahabatnya, yang dilihatnya bersedih pasca kekalahan kaum Muslimin dalam perang Uhud. Dalam perang tersebut, banyak para sahabat yang kehilangan keluarganya. Bahkan, Rasulullah Saw sendiri kehilangan pamannya; Hamzah bin Abd al-Muttalib; kehilangan yang menyisakan rekaman kesedihan di hatinya. Namun, hidup tetaplah harus dilanjutkan, perjuangan menegakkan kalimatullah harus terus dilakukan.
"Wahai Rasulullah, " kata Jabir. "Bapakku terbunuh di perang Uhud, meninggalkan keluarga dan hutang."
"Apakah engkau ingin aku beritahu bagaimana Allah SWT bertemu dengan bapakmu."
"Ya," jawab Jabir
"Tidaklah Allah SWT berbicara dengan seorang pun, kecuali di balik hijab. Allah SWT menghidupkan bapakmu, kemudian berbicara dengannya lansung berhadapan. Allah SWT berfirman, 'Hamba-Ku, berharaplah kepada-Ku, Aku akan memberikankannya untukmu.' Ia menjawab, "Wahai Tuhanku, hendaklah Engkau menghidupkanku (lagi), kemudian aku terbunuh lagi karena-Mu untuk kedua kalinya.' Allah SWT menjawab, 'Sudah Aku tetapkan, mereka tidak (akan) dikembalikan."
(HR al-Bukhari)
***
Kadangkala, orang yang bersedih tidak menginginkan lebih dari kata-kata Empati dan Simpati dengan apa yang mereka alami. Hanya butuh sentuhan lembut di pundak mereka. Nabi Saw sendiri, tidak kurang kesedihan yang beliau alami. Pamannya yang dicintainya dan menjadi panglima perang kaum muslimin, syahid dalam perang Uhud. Namun, ketika menyaksikan Jabir dalam kondisi bersedih, beliau tetap berusaha menghiburnya dan membersamai kesedihannya.
Kebaikan, tidak selalu berbicara masalah harta. Memberikan perhatian yang tulus, juga masuk dalam nilai-nilai kebaikan. Prinsip "masa bodoh, yang penting saya tidak apa-apa" perlu dibuang dari kamus hidup seorang Muslim. Tidak ada keraguan pada diri Jabir, bahwa bapaknya meninggal mulia di jalan Allah SWT, dalam perjuangan membela Islam, meninggikan kalimat Tauhid. Namun, manusia tetaplah manusia. Ia tetap membutuhkan seseorang yang mengingatkan kebaikan bapaknya. Dan tidak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang Muslim, melainkan ketika mengetahui keluarganya berada di kehidupan lebih baik dari kehidupan duniawi yang ditinggalkannya.
Dalam hadits, tidak dijelaskan Nabi Muhammad Saw membayarkan hutangnya. Namun, salah satu kebiasaan beliau adalah membayarkan hutang siapa pun jikalau memiliki kelebihan harta.
مَن تَرَكَ مالًا فَلِوَرَثَتِهِ، ومَن تَرَكَ كَلًّا فَإِلَيْنا
"Siapa yang meninggalkan warisan, maka bagi ahli warisnya. Dan siapa yang meninggalkan beban (hutang), maka tugas kami." (Hr al-Bukhari)
Kadangkala, ketika seseorang meninggal, ia meninggalkan beban besar di pundak ahli warisnya. Jikalau kita ada kemampuan, kemudian kita mereka mengetahui ketidakmampuan mereka menyelesaikan beban itu, maka itulah kesempatan kita untuk membantunya. Kalau perlu kita tanyakan, sebaiknya ditanyakan. Atau kalau bisa lansung memberikan bantuan, maka berikanlah.[]
----
repost
*Instagram*: @dapakihsati
----