Segala puji hanya milik Allah Ta’ala yang telah memudahkan bagi hamba-Nya untuk dapat beramal shalih, guna mendekatkan diri kepada-Nya, sebagai sebaik-baik perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Di antara bentuk ibadah yang agung, yang memiliki keutamaan di sisi Allah Ta’ala adalah ibadah kurban. Sebagai perwujudan dari perintah Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)
Maka tunaikan rasa syukur kepada Allah atas nikmat ini dengan melaksanakan shalat dan menyembelih (qurban) untuk Allah semata, berbeda dengan ibadah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik berupa pendekatan diri dengan menyembelih untuk patung-patung mereka.
Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah menjelaskan,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ (Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu)
Yakni shalat wajib lima waktu.
وَانۡحَرۡ( dan berkorbanlah)
Dahulu manusia mengerjakan shalat dan menyembelih kurban untuk selain Allah. Maka Allah memerintahkan Nabi-Nya agar menjadikan shalat dan kurbannya hanya bagi Allah semata.
Qatadah, ‘Atha, dan Ikrimah berkata: yang dimaksud adalah shalat ‘idhul adha dan menyembelih kurban setelah itu.
Maka menyadari kita sebagai seorang muslim akan perintah tersebut ditujukan kepada kita, iya kita, kita yang telah Allah Ta’ala beri kelonggaran berupa rizki yang di sana ada hak orang lain yang harus kita keluarkan. Allah Ta’ala tidak memerintahkan seorang hamba, kecuali ada hikmah dibaliknya.
Sebagaimana hikmah idul adha adalah yang mampu, dapat berbagi kenikmatan, kelezatan daging yang belum tentu saudara kita muslim yang lain yang bisa menikmatinya. Maka di Hari Raya tersebutlah di mana kesempatan mereka bisa merasakannya.
Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Idul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih)
Bahkan bisa jadi Ibadah qurban lebih baik daripada bersedekah dengan uang yang senilai dengan hewan qurban tersebut.
Ibnul Qayyim berkata, “Penyembelihan yang dilakukan di waktu mulia (Idul Adha) lebih afdhol daripada sedekah senilai penyembelihan tersebut. Oleh karenanya jika seseorang bersedekah untuk menggantikan kewajiban penyembelihan pada manasik tamattu’ dan qiron meskipun dengan sedekah yang bernilai berlipat ganda, tentu tidak bisa menyamai keutamaan udhiyah.”
Tidak lupa pula, dengan melaksanakan qurban kita juga meneladani kisah kesabaran Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam. Yang tentunya sudah sering berlalu-lalang kisahnya dikisahkan oleh khatib Idul Adha di setiap tahunnya.
Lantas bagaimana hukum berkurban?, dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama, wajib bagi orang yang mampu.
Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah.
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408)
Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Kedua, Sunnah Mu’akkadah (ditekankan).
Ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain.
Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih).
Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih)
Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454)
Maka bagi anda, iya anda, anda yang Allah Ta’ala mudahkan rezekinya yang seharusnya lebih dari kata mampu untuk menggambarkan keadaan anda. Lantas apa lagi alasan yang anda lisankan?, bukti iman apa yang hendak anda bawa kelak menjumpai Rabb-mu?.