*Mempertemukan Fikih dan Tasawuf Sebagai Puncak Kesalehan Hamba Kepada Sang Pencipta*
(KABIDAKWAHPRPMTOMPEYAN)
Ketika berbicara mengenai tasawuf tak jarang dibenturkan dengan fikih. Para sufi banyak yang dianggap menyeleweng dari hukum-hukum fikih. Apakah benar demikian? Fikih secara bahasa berarti paham. Singkatnya secara istilah fikih adalah ilmu tentang cara memahami syariat, hukum, larangan dan perintah serta wajib dan haram. Lebih detailnya di dalam fikih terkandung hukum-hukum seputar ibadah, muamalah, rumah tangga, mawaris dan jinayah. Dengan demikian fikih adalah ilmu yang berbicara mengenai amalam lahir sehingga pantas disebut dengan ilmu dzahir. Sedangkan tasawuf adalah ilmu yang berpangkal pada rasa atau batin yang didapat dari riyadhah (latihan batin) sehingga dapat menyibak rahasia-rahasia yang tak kasat mata (kasyaf). Adapun pengertian tasawuf secara istilah seperti yang pernah dikatakan oleh Junaid al-Baghdadi: “Tasawuf ialah keluar dari budi perangai yang tercela, dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.” Selain itu, seorang ulama besar Nusantara Buya Hamka juga memberikan definisi terkait tasawuf, beliau berkata: “Tasawuf yaitu membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi, menekan segala kelobaan dan kerakusan, memerangi syahwat yang lebih dari keperluan untuk kesejahteraan diri.”
Bermula dari pangkal atau sumber ilmu yang berbeda ini yaitu ilmu dzahir (fikih) dan ilmu batin (tasawuf) kerap kali terjadi pertentangan antara para ahli fikih yang mengutamakan kemampuan nalar berpikir dengan para ahli tasawuf yang mengutamakan rasa (dzauq). Akan tetapi, pemimpin-pemimpin tasawuf yang besar dan dalam ilmunya berpendapat bahwa gabungan antara ilmu batin dengan ibadah yang lahir merupakan puncak kebahagiaan tasawuf. Para ahli tasawuf yang sejati mereka menjunjung tinggi akan syariat dan menurutinya dengan tidak banyak bertanya, begitupun juga dengan ulama-ulama fikih yang agung. Para ahli fikih disamping sibuk menyelidiki dan mengkaji ayat maupun hadis untuk mendapatkan suatu hukum, mereka pun mengkaji ayat dan hadis untuk mengetahui rahasia kebatinan yang terkandung di dalamnya. Banyak para ahli fikih yang memiliki pola kehidupan tasawuf yang tinggi, yang tidak keluar dari garis-garis batasan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw.
Imam Malik seorang ahli fikih besar, beliau tidak pernah kering wajahnya dari air wudhu. Apabila beliau hendak mengajarkan hadis yang telah disusunnya dalam kitab al-Muwaththo’ terlebih dahulu diambilnya air wudhu dan dengan sangat hormat lagi takdzim beliau duduk bersimpuh di dekat makam Rasulullah saw. Imam Syafii yang juga murid Imam Malik pernah bermalam di rumah muridnya yaitu Imam Ahmad bin Hanbal. Pada tengah malam bangunlah Imam Ahmad yang hendak mengerjakan shalat malam. Beliau melangkah dengan diam-diam berjalan di dekat Imam Syafii karena Imam Ahmad takut jika langkahnya akan menganggu tidur sang guru. Tetapi Imam Ahmad mendapati bahwa sang guru yakni Imam Syafii sedang duduk berdzikir dengan khusyuk. Imam Ahmad pernah ditanya mengenai makna zuhud dan beliau menjawab dengan indah sebagaimana pandangan para ahli tasawuf, beliau menjawab bahwa zuhud memiliki tiga tingkatan. Pertama, meninggalkan yang haram itulah zuhudnya orang awam. Kedua, meninggalkan yang tidak perlu, itulah zuhudnya orang khawash. Ketiga, meninggalkan segala perkara yang dapat menghambat seseorang dari mengingat Allah, dan itulah zuhudnya orang yang arif.
Begitu pula Imam Abu Hanifah yang juga memiliki kehidupan tasawuf. Beliau berani menentang hidup di dalam serba kesulitan dan berani dengan jiwa merdeka menyatakan pendapat dan ijtihadnya. Agar tidak mengemis, beliau berusaha dan berjualan kain ke pasar. Kemudian, keuntungan dari hasil jualan tersebut digunakannya untuk beramal bahkan juga untuk memerdekakan budak padahal hidupnya sendiri sangatlah sederhana sekali. Demikianlah kisah hidup para ahli fikih yang sangat menunjukkan jiwa tasawuf. Dapat diambil kesimpulan bahwa kemurnian dan cita-cita Islam yang tinggi adalah gabungan antara fikih dengan tasawuf. Dengan fikih dapat diambil batasan hukum-hukum dan dengan tasawuf dapat memberi pelita dalam jiwa, sehingga tidak akan merasa berat dalam melakukan segala kehendak agama. Hubungan antara fikih dengan tasawuf sebenarnya telah tersirat dalam hadis Nabi saw yang membicarakan mengenai Islam, Iman dan Ihsan. Islam dalam hadis tersebut merepresentasikan fikih yang dapat memberikan petunjuk dalam menjalankan segala bentuk ibadah. Sedangkan, Iman menggambarkan ilmu aqidah yang dapat membentengi dari keyakinan yang sesat. Dan Ihsan mewakili ilmu tasawuf sebagai puncak kesalehan diri dalam beriman dan beribadah kepada Allah.